Notes of Little Sister

Di zaman penuh jerat, semua manusia tampaknya berlomba-lomba menjadi kuat. Media sosial layaknya sirkus penuh akrobat. Harus berapa kali diingatkan? Bahwa tak apa menjadi lemah. Sebab kau bukanlah mesin yang sesamamu ciptakan, yang dipaksa terus berjalan.

Si pemikir adalah penjaga setia pada waktu-waktu gulita, dan petualang pada pagi terang benderang. Tapi upah pun tak ia dapatkan untuk itu. Mengapa susah-susah jadi pemikir?

Datangnya penyesalan tak lepas dari ketakutan-ketakutan yang tak menemui jawaban. Mengiyakan ketidakberdayaan yang tak sanggup untuk dilewati. Setidaknya, begitu menurutku.

Tentang sepasang sepatu yang selalu terlupakan. Meski peluhnya tak pernah menghitung, berapa pijakan ia berjalan.

Pernahkah kau berpikir, bagaimana rasanya jadi Tuhan? Dalam angan kita, pasti terasa sulit, ya. Menyaksikan pola tingkah manusia-manusia yang selalu berseberangan, tapi tak pernah bisa menerima perbedaan. Apalah hak kita berusaha melampaui kuasa-Nya?

Seringkali kita terlelap dalam gemerlapnya kenangan, terlalu ingin kembali kesana, karena kenyataan yang semakin sulit untuk diterima. Tak apa bernostalgia sesekali. Asal itu semua tak menjadikanmu tenggelam dalam kelam, hingga lupa untuk melangkah maju.

Yang terlihat tulus, belum tentu setulus itu. Yang terlihat kejam, mungkin saja tak sekejam itu. Definisi "yang terlihat" tampaknya tak bisa lepas dari sudut pandang manusia. Padahal mereka masih punya keempat indera lainnya untuk bertahan hidup.

Terkadang bahagia tak sesederhana menikmati secangkir teh hangat di pagi hari, atau tak sesederhana menonton video-video lucu di Instagram, ketika kita telah melibatkan raga lain dan bermain-main dengan ekspektasi.

Seringkali keterpaksaan berbanding terbalik dengan ketulusan. Selalu jadi kambing hitam saat raga merasa terseret dan tak ikhlas menjalani rutinitas. Padahal kita selalu punya pilihan,. Meski harus menjalani dengan keterpaksaan, pada akhirnya menentukan langkah terburuk pun butuh pertimbangan.

Perkara mencintai bukan hanya soal menerima dan memberi, lebih jauh dari itu. Ini soal menghargai bahwa masing-masing adalah individu yang punya hati dan perasaan. Bukan kemudian bisa lantas pergi saat merasa tak cukup.

Seringkali kita mengerti tentang kondisi dan makna dari sebuah kata, tetapi pada hakikatnya tak benar benar bisa paham. Berbuat sesukanya, bertindak sesadarnya saja, tak ingin paham dan bahkan tak tahu bahwa kita tak boleh sekadar mengerti, melainkan harus pandai memahami.

Jawaban dari segala penantian. Keberadaannya tak pernah disadari, dianggap biasa saja dan angin lalu. Padahal napas yang ia bawa patut disyukuri, mau indah atau sedih sekalipun ceritanya.

Di masa-masa quarter life crisis ini, seringkali kita dihadapkan pada situasi tak menyenangkan soal mimpi dan kenyataan. Soal mengerjakan apa yang dikerjakan. Melihat teman-teman yang sudah sukses lebih dulu, dan bahkan menuntut ilmu hingga ke luar negeri. Itu yang sedang saya rasakan. Menginginkan bagian, karena saya bosan berada dalam kondisi yang sangat menjenuhkan. Jadi, untuk teman-teman yang sedang merasa tertinggal, ini untuk kita.